Wednesday, November 25, 2009

PERCOBAAN ANATHESIA UMUM DENGAN ETHER PADA KELINCI


I. Maksud dan Tujuan
  1. Melihat sendiri pengaruh atau efek ether pada kelinci sebagai binatang percobaan.
  2. Membandingkan hasil percobaan dengan teori yang ada dalam pembahasan untuk diambil kesimpulan
  3. Membantu mahasiswa dalam menguasai farmakologi.
II. Dasar Teori
            Ether merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau, mengiritasi saluran napas, mudah terbakar dan mudah meledak. Di udara terbuka ether teroksidasi menjadi peroksida dam bereaksi dengan alcohol membentuk asetaldehid sehingga ether yang sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak digunakan lagi.
            Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan dalamnya anastesia dan teknik yang digunakan untuk induksi digunakan 10 – 20 % volume uap eter dalam oksigen dan N2O untuk dosis penunjang stadium III, membutuhkan 5 – 15 % volume uap eter. Eter ini sudah jarang dipergunakan di negara maju tetapi di Indonesia masih dipakai secara luas. Anastetik ini cukup aman, hanya berbau yang kurang menyenangkan.

III. Alat dan Bahan
Alat :
-          Jam/stop wacth
-          Stetoskop
-          Gunting
-          Mistar/garisan
-          Pinset
-          Spuit dan jarun suntik
-          Corong
Bahan :
-          eter
-          1 ekor kelinci sebagai hewan percobaan

IV. Cara Kerja

  1. Periksa keadaan pernafasan, keadaan mata, keadaan otot, rasa nyeri, dan keadaan salivasi
  2. Gunting bulu mata kelinci
  3. Pasang corong pada moncong kelinci dengan baik
  4. Teteskan ether dengan kecepatan kira-kira 60 tetes/menit
  5. Catatlah waktu : mulai meneteskan ether, adanya tanda-tanda dari tiap-tiap “stage”, dimana binatang percobaan telah berada dalam anastesi cukup dalam sehingga operasi dapat dimulai.
V. Pembahasan
            Ether menekan kontraktilitas otot jantung tetapi in vivo efek ini dilawan oleh meningginya aktivitas simpatis sehingga crah jantung tidak berubah/meninggi sedikit, ether tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Pada anastesi ringan, seperti halnya anastetik lain, eter menyebabkan dilates pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah muka. Pada anastesia yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat, dingin dan basah.
            Ether dalam percobaan kami ini frekwensi pernafasannya 140/menit secara teratur dalam pernafasan dadanya dan mengalami miosis, dan mengalami stadium II dengan cirri-cirinya pernafasan tidak teratur, dapat terjadi batuk dan muntah, delirium dan defekasi pada pukul 16.00

VI. Kesimpulan
  1. Ether merupakan cairan tidak bewarna, mudah menguap, berbau dan mudah terbakar
  2. Jumlah ether yang dibutuhkan tergantung dari berat dan teknik kondsi penderita, kebutuhan dalamnya, anastesia dan teknik yang digunakan

No comments:

Post a Comment