Monday, November 30, 2009

CAIRAN TUBUH


I. PENDAHULUAN
I.1.    Ginjal dan Cairan Tubuh
Ginjal terlibat dalam pengaturan beberapa aspek dari komposisi plasma seperti konsentrasi Na, K dan H+ yang paling relevan dengan terapi cairan. Ginjal juga penting dalam pengaturan ion divalen seperti Ca dan Mg. Fungsi utama ginjal adalah mengatur volume plasma, sebab jika fungsi ini tidak efektif atau karena penyakit, hewan tidak hanya akan mengalami shock tetapi juga penurunan fungsi ginjal sehingga volume sirkulasinya berubah. Perbaikan volume sirkulasinya adalah dengan menggantikan volume cairan (terapi cairan) dan mengembalikan fungsi ginjal sehingga dapat mengatur komposisi plasma.
 I.2.    Cairan Tubuh, Na dan K
Air penyusun tubuh terdiri 50-60% dari berat badan dan akan mengalami peningkatan pada hewan yang muda atau kurus, dan lebih sidikit pada hewan yang berlemak. Kehilangan cairan 5% dari berat badan sesara klinis tidak akan tampak tetapi jika melebihi 15% dari berat badan akan menjadikannya sangat regang nyawa apalagi terjadi dalam waktu singkat. Pada dasarnya terapi cairan hanya berkisar 50-150 ml/kgberat badan. Pada hewan yang kehilangan 15% berat badan mungkin hanya kehilangan 25-30% dari air tubuh.
Volume darah kurang lebih 10% dari berat badan termasuk intra cellular fluid dari sel darah merah (RBC). Distribusi cairan tubuh tergantung pada gradien osmotic. Air akan bebas melintasi membran sel dan akan berubah dengan cepat untuk menyeimbangkan sel dengan sekitarnya. Dengan mengatur konsentrasi plasma, ginjal akan mengatur tekanan osmotic cairan intra seluler (ICF) dan cairan ekstra seluler (ECF).
 I.3.    Na dan K
Konstituen osmotic utama ICF adalah K sedangkan ECF adalah Na. Keseimbangan ini diatur oleh system enzimatis yang membutuhkan energi (Na-K ATP-ase ; pompa sodium) yang tidak hanya mengeluarkan Na dari sel tetapi juga membawa K. Ketika tersedia energi yasng cukup, pompa membran yang mengelilingi sel akan membentuk gradien Na dan K yang dapat digunakan untuk mentransfer terlarut yang lain dan air, dengan perpindahan Na yang lebih besar dari K akan menghasilkan voltase yang menopang funsi dari jaringan yang tereksitasi. Hal ini akan mencegah sel dari pembengkakan dan kelebihan air yang terikat pada protein dan terlarut lain dalam ICF.
Ketika fungsi ini gagal atau terjadi kerusakan membran, K plasma akan meningkat, sel akan membengkak dan volume plasma akan menurun, keadaan ini dikenal dengan Sick Cell Syndrome. Pompa sodium akan meningkat aktivitasnya jika K plasma meningkat; insulin akan merangsang aktivitas ini dan sekresinya akan meningkat selama hiperkalaemia. b-adrenergik juga agonis terhadap K kedalam sel. Sekresi aldosteron dari kortek adrenal secara langsung akan terangsang dengan meningkatnya K plasma. Aldosteron akan merangsang mengekresikan K tidak hanya melalui urin tetapi juga melalui cairan usus dan keringat. 
I.4.    Keseimbangan Asam-basa
Hanya Ca plasma yang terikat pada albumin, ion H terikat pada beberapa senyawa. Kebanyakan ion H+ terikat pada buffer.
CO2 + H2O      H2CO3  H+ + HCO3-
H+   a     H2CO3
               HCO3-
H+    a     PCO2
               HCO3-
Paru–paru dan ginjal secara langsung dapat merubah CO2 dan bicarbonat sehingga dapat mempengaruhi pH.
PH = pK + log (HCO3-)            (Handerson-Hasselbalch)
                        s x PCO2
pK = log dari konstanta dissosiasi
s    = adalah faktor solubilitas yang mengubah PCO2 menjadi mmol/lt.
Bicarbonat adalah buffer yang dominan, tetapi haemoglobin juga penting dan mempunyai aktivitas sebagai buffer. Jika terjadi kelebihan ion H+ pada saat asidosis maka akan diubah menjadi bentuk HHb dan akan merubah pH.
                        H+ + Hb-   HHb
I.5.    Fungsi Ginjal
Ginjal secara kontinu akan merubah 5% out put jantung menjadi protein bebas pada urin yang primitif (filtrat glomerulus), dan akan diserap kembali untuk memelihara volume normal plasma. Hal ini terjadi pada tubulus proksimal yang akan mereabsorbsi 66% Na dan Cl, reabsorbsi akan ditingkatkan dengan pengurangan volume dan mengakibatkanvolume ECF meningkat. Tubulus proksimal hanya dapat mempertahankan volume plasma tetapi tidak komposisi plasma yang tergantung banyak pada nefron bagian distal.
Selama pada tubulus proksimal bahan-bahan yang esensial seperti glukosa dan protein akan direabsorbsi penuh, tinggal sampah Na seperti urea dan kreatinin yang akan menjadi konsentrat sebagai urin.
Baru-baru ini ditemukan mekanisme yang memungkinkan untuk mengekresikan kelebihan Na dengan cepat. Dua tipe hormon “Natriuretic” telah ditemukan. Pertama berasal dari otak yang mempengaruhi transport Na, kedua dari atrium jantung yang mempengaruhi filtrasi glomerulus, reabsorbsi Na ddan tekanan arteri.
Di dalam tubulus garam diekstraksi dari urin tanpa air sehingga membuat cairan interstisial medula sangat konsentrat (hipertonic) dan urin menjadi hipotonik. Jika plasma menjadi hipertonik karena kehilangan air, urin akan dipekatkan (hipertonik) untuk menghemat air. Faktor yang mempengaruhi duktus menjadi permeable dan menghemat air. ADH akan disekresikan dari pituitaria posterior. Ketika fungsi tubulus terganggu, ginjal tidak akan membuat urin menjadi hipotonik atau hipertonik dengan baik. Pada tubulus distalis dan duktus kolektivus Na dalam jumlah kecil akan direabsorbsi.
II. GANGGUAN VOLUME DAN KOMPOSISI CAIRAN TUBUH
II.1. Penurunan Volume; Na Plasma; Kehilangan Cairan
Semenjak Na menjadi tulang punggung tekanan osmotik dari ECF, intensitas kehilangan cairan biasanya merefleksikan kehilangan Na. Secara klinik penentuan dehidrasi tidak hanya tergantung pada kehilangan cairan. Pada berbagai kondisi yang melibatkan pelepasan ADH atau kemampuan ginjal untuk menghasilkan urin yang hipertonik dapat meningkatkan kehilangan K, hiperkalsaemia dan pyometra. Peningkatan respirasi dapat meningkatkan kehilangan cairan khususnya pada temperatur yang tinggi dan kelembapan yang rendah.
Jika ada kehilangan garam yang nyata (seperti jatuhnya konsentrasi Na plasma) akan menjadikan keadaan semakin buruk. ECF tidak hanya menurun karena kehilangan secara eksternal tetapi karena ketidakmampuan mempertahankan air melawan tekanan osmotik ICF. Air akan masuk ke dalam sel sampai konsentrasi ICF dan ECF seimbang.
II.2. Hiponatraemia dan Hipernatraemia
Lebih lanjut hiponatraemia dapat disebabkan karena patologis, overhidrasi, retensi air dalam mempertahankan volume plasma (haus dan ADH). Hiponatraemia yang keras dapat menyebabkan gangguan intestinal dan neurologis.
Pada hipernatraemia yang keras (>160 mmol/lt) dapat menyebabkan gejala klinis nonspesifik yang keras seperti konvulsi karena keracunan garam pada babi dan pedet.
II.3.  Potasium
Tidak seperti halnya Na yang menjadi ion esensial ECF, K sangat dominan pada ICF. Penyebab utama kehilangan K adalah anoreksia, peningkatan ekresi urin dan diare. Secara klinis kehilangan K dapat menyebabkan otot lemas, baik otot rangka maupun otot polos. Penyebab utama retensi K adalah deplesi volume yang keras (akibat membawa Na ke distal nefron), kegagalan ginjal akut dan bocornya K dari RBC. Aldosteron menjadi pengatur utama retensi dan ekresi K.
II.4. Kalsifikasi Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
¯  Metabolik Asidosis; kehilangan secara primer atau turunya konsumsi bicarbonat, dan pH biasanya menurun meskipun ventilasi paru-paru meningkat yang mengakibatkan penurunan kompensasi pCO2.
Sebab : akumulasi H+, hilangnya bikarbonat, dan menurannya konsentrasi bikarbonat.
Efek    : menurunnya up take O2 oleh Hb, pernapasan dalam dan megap-megap, depresi pusat vasomotor, RBC meningkat regiditasnya, venokontriksi, mempengaruhi distribusi obat (seperti barbiturat) dan aksi hormon, merubah glikolisis dan merubah aktivitas enzim.
Terapi  : metabolik asidosis harus diperbaiki secara bertahap, pemberian prekursor bikarbonat (seperti laktat, asetat dll) dapat menurunkan efek.
¯  Metabolik Alkalosis; kelebihan secara primer bikarbonat (biasanya menurunnya asam lambung). Keadaan ini hampir tidak merubah kenaikan pH karena respon kompensasi (menekan ventilasi untuk meningkatkan pCO2) ditahan keperluan oksigenasi. Ada beberapa efek fisiologis pada respon kompensasi metabolik alkalosis, ventilasi akan tertekan dan pCO2 akan meningkat. Peningkatan pCO2 akan membantu ginjal untuk mempertahankan bikarbonat. Terapi : Bila ginjal secara normal mengatur bikarbonat secara efektif, perbaikan metabolik alkalosis tidak perlu memberikan asam tetapi perlu memperbaiki faktor-faktor yang menghalangi fungsi ginjal.
III. KOMPOSISI DAN PEMILIHAN TERAPI CAIRAN
III.1. Terapi ECF (ECF replacement)
Hartman’s Lactat Ringer Solution ; mempunyai konsentrasi bikarbonat yang menyerupai plasma yang akan memperbaiki asidosis ringan. Hal ini untuk mengatasi isi bikarbonat dari plasma yang asidotik.
Darrow’s Solution ; diformulasikan untuk diare bagi bayi yang kekurangan K+ dan kecenderungan menjadi hipernatraemia. Karena kandungan Na yang rendah dan K yang rendah maka tidak cocok untuk pengobatan awal dari terapi cairan.
III.2. Perbaikan Plasma
Hanya sebagai albumin yang memungkinkan plasma untuk diperbaiki volumenya meskipun tekanan hidrostatiknya cenderung membuat air keluar dari kapiler. Seperti dextan, gelatin dan hidroxyethyl starch. Dextran-70 yang berat mulekulnya menyerupai albumin sangat baik digunakan. Dextran-40 hanya dapat mencapai target ¼-nya dan menyebabkan osmotik deuretik. Dextran-40 BM-nya kecil dan lebih mempunyai tekanan osmotik. Dextran mempunyai kelemahan yaitu dapat bersifat antigenik karena BM-nya tinggi, sedangkan dextran-40 dapat mengalami presipitasi pada kegagalan ginjal akut.
III.3. ECF Alkalinizer
a.       Hartman’s (Laktat Ringer) Solution, relatif lebih aman
b.      Acetat Ringer Solution
c.       McSherry’s atau Rose’s Solution, mengandung K yang cukup tinggi.
III.4. ECF Acidifiers
a.       HCl
b.      NH4Cl
c.       Ringer’s Solution (mengandung ion K), lebih banyak kandungan Cl lebih baik.
III.5. ECF Diluent
-          5% Glukosa
Larutan Pemelihara (maintenance solution)
Hal ini untuk menggantikan minum secara normal dan elektrolit yang terkandung dalam makanan.
III.6. Larutan Nutrisi
Seperti glukosa, alkohol, emulsi lemak, protein, Concentrat tambahan dan vitamin. Hal ini biasanya larutan garam tunggal seperti sodium bikarbonat dan potasium klorida.
III.7. Terapi Hiperkalaemia
Jika potasium plasma melebihi 7 mmol/lt akan menjadi masalah karena dapat menurunkan fungsi jantung.
Ada tiga cara pendekatan yaitu :
a.       Mengembalikan K kedalam sel dengan terapi asidosis dan dengan kombinasi glukosa dan insulin.
b.      Melawan efek K yang merugikan dengan injeksi kalsium boroglukonat.
c.       Meningkatkan ekresi K dengan pertukaran ion secara oral.
III.8. Shock Dan Kehilangan Cairan
Shock secara sederhana adalah gambaran respon fisiologis dari perdarahan. Bagian yang penting dari respon ini adalah vasokontriksi khususnya arteriola. Hal ini untuk menjaga tekanan arteri , tetapi tekanan kapilernya menjadi menurun.
Efek yang merugikan dari shock
a.       Perubahan vaskuler
Perubahan pada tekanan vaskuler (vasokontriksi). Meningkatnya permeabelitas vaskuler.
b.      Perubahan pada darah
Volume darah menurun, viskositasnya menigkat dan kecenderungan untuk menggumpal.
c.       Fungsi Jantung
Depresi yang mengakibatkan komposisi plasma makin buruk karena myocardial depressan factor (MDF).
d.      Komposisi plasma
makin buruk, K+ meningkat, H+ meningkat dan kadang-kadang hipoglisemia.
Klasifikasi Shock
1.      Vasogenik atau Neurogenik shock
Vasodilatasi dapat menjadi faktor primer dikaitkan dengan kompensasi dari vasokontriksi. Vasokontriksi karena akibat rasa sakit yang sangat.
2.      Cardiogenik shock
Karena menurunnya out put jantung yang menyertai kegagalan fungsi jantung. Anafilaktik shock dipicu oleh reaksi antigen-antibodi sehingga meningkatkan konsentrasi histamin dan mediator yang lain dalam sirkulasi.
3.      Endotoxic shock
Diawali dengan hancurnya produk-produk bakteri yang telah mati.
4.      Septic shock
Adanya bakteri dalam sirkulasi. 
Tanda-tanda shock:
-          sirkulasi jantung menurun (ritme dan pulsus)
-          Respirasi menjadi hiperventilasi
-          Temperatur hipotermik
-          Tekanan pada venasentral
-          Urine out put menurun.
Pengobatan shock :
Hipovolaemic shock ; perbaiki volume sirkulasi.
Cardiogenic shock ; meningkatkan konsentrasi inspirasi oksigen, pemberian deuretik (Frusemide 10 mg/kg BB secara intra vena), berikan cardiac glycoside jika deuretik gagal dan vasokonstriktor.
Septic shock; berikan antibiotik, cairan pengganti dan perbaiki fungsi organ.


Wednesday, November 25, 2009

PERCOBAAN ANATHESIA UMUM DENGAN ETHER PADA KELINCI


I. Maksud dan Tujuan
  1. Melihat sendiri pengaruh atau efek ether pada kelinci sebagai binatang percobaan.
  2. Membandingkan hasil percobaan dengan teori yang ada dalam pembahasan untuk diambil kesimpulan
  3. Membantu mahasiswa dalam menguasai farmakologi.
II. Dasar Teori
            Ether merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau, mengiritasi saluran napas, mudah terbakar dan mudah meledak. Di udara terbuka ether teroksidasi menjadi peroksida dam bereaksi dengan alcohol membentuk asetaldehid sehingga ether yang sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak digunakan lagi.
            Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan dalamnya anastesia dan teknik yang digunakan untuk induksi digunakan 10 – 20 % volume uap eter dalam oksigen dan N2O untuk dosis penunjang stadium III, membutuhkan 5 – 15 % volume uap eter. Eter ini sudah jarang dipergunakan di negara maju tetapi di Indonesia masih dipakai secara luas. Anastetik ini cukup aman, hanya berbau yang kurang menyenangkan.

III. Alat dan Bahan
Alat :
-          Jam/stop wacth
-          Stetoskop
-          Gunting
-          Mistar/garisan
-          Pinset
-          Spuit dan jarun suntik
-          Corong
Bahan :
-          eter
-          1 ekor kelinci sebagai hewan percobaan

IV. Cara Kerja

  1. Periksa keadaan pernafasan, keadaan mata, keadaan otot, rasa nyeri, dan keadaan salivasi
  2. Gunting bulu mata kelinci
  3. Pasang corong pada moncong kelinci dengan baik
  4. Teteskan ether dengan kecepatan kira-kira 60 tetes/menit
  5. Catatlah waktu : mulai meneteskan ether, adanya tanda-tanda dari tiap-tiap “stage”, dimana binatang percobaan telah berada dalam anastesi cukup dalam sehingga operasi dapat dimulai.
V. Pembahasan
            Ether menekan kontraktilitas otot jantung tetapi in vivo efek ini dilawan oleh meningginya aktivitas simpatis sehingga crah jantung tidak berubah/meninggi sedikit, ether tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Pada anastesi ringan, seperti halnya anastetik lain, eter menyebabkan dilates pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah muka. Pada anastesia yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat, dingin dan basah.
            Ether dalam percobaan kami ini frekwensi pernafasannya 140/menit secara teratur dalam pernafasan dadanya dan mengalami miosis, dan mengalami stadium II dengan cirri-cirinya pernafasan tidak teratur, dapat terjadi batuk dan muntah, delirium dan defekasi pada pukul 16.00

VI. Kesimpulan
  1. Ether merupakan cairan tidak bewarna, mudah menguap, berbau dan mudah terbakar
  2. Jumlah ether yang dibutuhkan tergantung dari berat dan teknik kondsi penderita, kebutuhan dalamnya, anastesia dan teknik yang digunakan